Senin, 04 Januari 2021

KISAH SUKSES DI BALIK PENGELAMAN PAHIT YANG MEMALUKAN


Pendahuluan:

Manusia memiliki kecenderungan untuk menolak hal-hal yang menyakitkan, menyulitkan, dan memalukan. Ia juga berusaha untuk menghindari tantangan, masalah dan bencana. Tapi

tahukah anda bahwa justru tantangan dan masalah atau bahkan hal yang sangat memalukan anda bisa membawa anda kepada sebuah kesuksesan atau penemuan baru? Kisah pengalaman Psikolog Frederick S. Fritz perls, Allport dan Adler, kiranya dapat menginspirasi kita untuk tidak takut dan menyerah terhadap tantangan.

 

1.  Kisah Fitz Perls ketika diremehkan Freud


Tahun 1936, ada kongres Psikoanalisis tahunan yang diadakan di Cekoslowakia. Frederick S. Fritz perls, sebagai seorang ahli psikoanalisis yang bekerja di Afrika selatan, merasa senang untuk hadir sekaligus ingin bertemu dengan Freud untuk pertama kalinya. Ia juga telah menyiapkan makalahnya sebagai sumbangan dalam pertemuan itu, yang merupakan suatu perbaikan terhadap psikoanalisis, bahkan ia sudah membayangkan bagaimana teman-temannya akan menerimanya. Usaha ini gagal total dan menjadi suatu malapetaka yang sangat memalukan Perls. Makalahnya tidak diterima, ide-ide barunya ditolak oleh kelompok psikoanalisis ortodoks. Bahkan psikolog Wilhelm Reich yang pernah menganalisisnya dan banyak membantunya hampir tidak menghiraukan kehadirannya. Pukulan berat datang dari Freud sendiri. Ia tidak pernah melewati pintu masuk Freud, merasa diremehkan dan dihina. Ketika ia mengatakan kepada Freud bahwa dia dengan berbagai cara datang dari Afrika Selatan untuk menemuinya, Freud menjawab, “baik, tapi kapan anda balik lagi’? Peristiwa ini membuat Perls pergi dengan hati hancur dan malu, merasa dirinya diremehkan dan dihina. Bersamaan dengan itu muncul perasaan marah yang luar biasa dan meninggalkan Kongres dengan suatu keputusan bahwa ia akan memperlihatkan kepada mereka (para ahli Psikoanalis Freud) bahwa mereka tidak dapat melakukan ini kepadanya.  Peristiwa ini membawa suatu trauma tersendiri bagi Perls. Saudarinya memberikan kesaksian bahwa ia kembali dari Kongres sebagai seorang laki-laki yang berbeda. Kehidupan profesional dan pribadinya mengalami suatu reorientasi baru, dari seorang ahli psikoanalisis yang sedang-sedang saja menjadi seorang tokoh yang hebat dalam bentuk terapi baru.  Peristiwa itu mendorongnya menemukan suatu pandangan filsafat baru tentang kodrat manusia yang disampaikan kepada para pengikutnya dan dipraktekan dalam hidupnya sendiri. Ia hidup dalam suatu kesadaran baru, dengan membuang kepercayaan-kepercayaan terdahulu dan mengalami suatu kebebasan baru yang timbul secara tiba-tiba. Dia memutuskan bahwa dia tidak membutuhkan bantuan dari sumber apa pun di luar dirinya. Dia tidak bergantung lagi pada sistem-sistem spiritual, moral dan intelektual yang telah digunakan sebelumnya. Dia akhirnya sampai pada suatu puncak kesadaran diri yang sekaligus merupakan moto dari terapi Gestalt yaitu: “saya harus mengambil tanggung jawab terhadap kehidupan saya sendiri”. Ia hidup berdasarkan doa Gestaltnya:

Aku melakukan halku dan kau melakukan halmu. Aku tidak berada di dunia ini untuk berbuat sesuai dengan harapan-harapanmu. Dan kau tidak berada di dunia ini untuk berbuat sesuai dengan harapan-harapanku. Kau adalah kau dan aku adalah aku. Dan apabila kebetulan kita saling bertemu maka hal itu baik. Kalau tidak, maka tidak dapat berbuat apa-apa.

Ia sangat populer karena nasehat hidupnya: “di sini dan kini”. Ia begitu populer sehingga ketika dirawat di rumah sakit di Chicago banyak pengikutnya yang berjubel selama enam hari menunggu berita kesembuhannya. Pihak rumah sakit mendatangkan penjaga keamanan untuk membendung keresahan pengikut-pengikutnya yang berdesak-desakan sekitar gedung rumah sakit. Itulah pribadi Perls, seorang yang sangat terhina saat bertemu dengan Freud, tetapi karena bertekad untuk berpikir alternatif di luar teori-teori lama sehingga akhirnya menghasilkan satu teori baru dalam duni Psikologi yang disebut Psikologi Gestalt.

 

2.  Kekecewaan Allport terhadap fokus Psikologi Freud


          Pengalaman yang tak terlupakan oleh Allport adalah saat bertemu dengan Freud untuk pertama kalinya.  Dalam musim panas tahun 1920, Allport menemui Freud.  Pertemuan itu ternyata menjadi suatu pertemuan yang memalukan tetapi penting bagi Allport yang berusia 23 tahun itu.  Pertemuan yang memalukan ini penting karena Allport kemudian menolak psikoanalisis Freud untuk membuat suatu pendekatan yang sangat berbeda terhadap studi psikologi kepribadian manusia.  

Kisah pengalaman Allport demikian. Dalam perjalanannya pulang ke Amerika Serikat setelah setahun mengajar pada Robert College di Istambul, ia singgah di Wina untuk mengunjungi temannya, dan selagi di sana ia menulis surat untuk bertemu dengan Freud.  Dan Freud kemudian membalas suratnya yang isinya mengundang Allport untuk boleh singgah di sana.  Allport menerima undangan itu dengan senang hati.  Pada hari perjumpaan mereka, Freud mengantar Allport ke kantornya dan duduk, tidak berkata apa-apa, dan menanti Allport untuk berbicara.  Setelah lama tak berbicara akhirnya Allport memulai percakapannya dengan menceriterakan peristiwa yang ia lihat ketika naik Trem ke rumah Freud.  Isi ceriteranya itu mengenai seorang anak berumur 4 tahun yang kelihatan takut kotor.  Selama di Trem anak itu mengeluh kepada ibunya, “saya tidak mau duduk di sana, jangan membiarkan laki-laki yang kotor itu duduk di sampingku”.  Setelah berceritera, keheningan kembali terjadi, Freud tetap menatap orang muda Amerika yang rapi dan sopan itu, sambil berkata “dan apakah anak laki-laki itu adalah anda?”  Allport terkejut, tetapi ia berhasil mengubah pokok pembicaraan.   Peristiwa itu meninggalkan suatu kesan yang mendalam baginya.  Dari peristiwa ini dia yakin bahwa ahli-ahli psikologi perlu dinasihati supaya bekerja dengan permukaan kesadaran manusia, dan motif-motif sadar manusia, dari pada terjun ke “kedalaman” tak sadar yang gelap yang mungkin terletak di sebelah bawah.  

Kesadaran baru ini mendorong Allport membuat penelitian tentang kepribadian manusia dengan lebih berfokus pada kesadaran dari pada ketidaksadaran.  Penelitiannya ini kemudian menghasilkan sebuah aliran baru dalam psikolgi yang di sebut Psikologi Individualitas Allport.

 

 

3.  Perbedaan Orientasi Adler dan Freud

Adler tertarik dengan teori-teori Signum Freud yang sedang lagi dipolemikkan saat itu.  Ketertarikan itu mendorongnya hingga bergabung dengan Lembaga psikoanalisis Wina yang didirikan Freud pada tahun 1902. Mulanya menjadi anggota dan kemudian menjadi ketua Masyarakat Psikoanalisis Wina.  Pikiran dan perumusan Adler mengenai perasaan-perasaan rendah diri (inferior) dan upaya kompensatoris untuk mendapatkan kekuasaan sebagai faktor dasar dalam perkembangan pribadi, mempercepat munculnya keretakan secara terbuka dengan Freud pada tahun 1911. Pada suatu kesempatan Ia diminta menyajikan pandangan-pandangannya dihadapan masyarakat psikoanalisis, yang kemudian disusul dengan kritik dan celaan terhadap pandangannya itu.  Akibatnya Adler mengundurkan diri dari ketua dan beberapa bulan kemudian ia menarik diri dari keanggotaan sekaligus memutuskan hubungan dengan Psikoanalisis Freudian.  Dengan kelompok besar pengikut yang setia, Adler membangun satu sistem teori baru yang terkenal dengan nama: Psikologi Individual Adler.

Psikologi Individual Adler adalah sebuah cabang ilmu psikologi yang khusus meneliti perbedaan antar individu, yang sinonim dengan Differential Psychology.  Psikologi Individu Adler merupakan suatu sistem psikologi yang bertujuan untuk memahami, mencegah dan mengobati penyakit-penyakit mental.  Pada mulanya Adler bekerja sama dengan Freud, tetapi ia kemudian tidak puas terhadap penekanan Freud yang berlebihan pada seksualitas dalam perkembangan kepribadian dan menonjolkan gejalah neorosis, menekankan kelemahan dan ketidakberdayaan anak-anak muda dalam perasaan-perasaan inferior mereka (minder dan rendah diri). Adler kemudian mengemukakan suatu ciri psikologi dengan dasar filosofis bahwa: (1) Tingkah laku manusia dimotivasi oleh dorongan-dorongan sosial, karena manusia pada dasarnya makluk sosial, ia menghubungkan diri dengan orang lain, ikut dalam kegiatan-kegiatan sosial, menempatkan kesejahteraan sosial di atas kepentingan dirinya sendiri. Beda dengan Freud yang mengatakan manusia dikuasai oleh insting-insting yang dibawa sejak lahir, Jung: manusia dikuasai oleh arketipe-arketipe, Adler menekankan minat sosial. (2) Manusia memiliki diri yang kreatif. Konsep ini baru untuk mengimbangi obyektivisme dari psikoanalisis klasik. Diri sebagai penyebab penting tingkah laku manusia. (3) Setiap orang merupakan konfigurasi unik dari motif-motif, sifat-sifat, minat-minat dan nilai-nilai. Beda dengan psikoanalisis klasik yang menekankan keunikan kepribadian. (4) Kesadaran sebagai pusat kepribadian. Dalam pemikiran Finalisme Fiktif, Adler mengambil alih ide filsafat positivisme yang mengatakan bahwa manusia hidup dengan banyak cita-cita yang semata-mata fiktif, dan hidup berdasarkan harapan-harapannya dan bukan masa lampaunya. Ia tidak parcaya pada takdir, tapi hadir secara mental di sini dan sekarang.

 

 

Kesimpulan:

          Ketiga kejadian di atas hanyalah sekelumit contoh dari jutaan dan bahkan tak terhitung jumlahnya kejadian memalukan atau peristiwa hidup yang menggiring manusia ke titik nadir terendah dalam hidupnya. Di titik ini manusia dihadapkan dengan pilihan menyerah pada tantangan yang berujung pada kegagalan/kematian atau berpikir positif untuk menemukan hikma atau jalan lain dibalik tantangan tersebut lalu bangkit untuk memulai hidup dengan cara pandang baru. 

          Pengalaman pahit dari ketiga Psikolog di atas menggiring mereka untuk berpikir alternatif dari penemuan Freud yang sudah ada. Meraka tidak larut dalam kekecewaan dan frustrasi tetapi sebaliknya bangkit untuk menempuh jalan lain, jalan alternatif lain yang akhirnya membawa mereka pada penemuan baru dalam ilmu psikologi. Perls menjadi pendiri Terapi Gestalt, Allport menghasilkan Psychology of Individuality dan Adler muncul sebagai pendiri Individual Psychology.

          Tips untuk setiap orang yang mengalami tantangan adalah  jangan fokus pada kegagalan, berpikir positip dan tetap optimis, berpikir alternatif karena masih ada jalan lain ke Roma (masih ada jalan lain menuju tujuan).

 

 

Referensi:

 

Naisaban, L. 2004. Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran dan Karya. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar